Tuhan telah mengijinkanku untuk menikmati carut-marutnya dunia yang “diciptakan” manusia. Betapa nafsu manusia bisa menggerogoti segala keindahan dan kenyamanan kehidupan ini. Hingga parameter Tuhan pun bisa menjadi sangat fleksibel, dianggap sah untuk diputarbalikkan, dan tak jarang malah diabaikan.
Tuhan mempercayaiku untuk berdiri diantara polusi moral yang sulit dinetralisasi dengan berbekal kitab yang tak lagi menjadi pedoman inti sang penduduk bumi. Aku bahkan bukanlah remaja yang tumbuh dengan prinsip yang menancap kuat di nadiku, tapi aku tetap ditakdirkan bernafas di era ini. Aku sendiri masih seperti perahu kertas yang bisa dengan mudahnya terombang-ambing dan tenggelam dalam arus sungai yang amat lamban. Atau mungkin seperti benih bunga dandelion yang terpisah berkilo-kilo jauhnya dari sang induk, terbawa angin sepoi-sepoi.
Meskipun begitu, ku coba lalui perjalanan ini tanpa kata menyerah agar tetap ku yakin bahwa Tuhan tak akan menyesal telah menciptakanku. Ya, pernah aku jatuh sejatuh-jatuhnya hingga hampir lupa caranya untuk bangkit berdiri. Pernah aku berlari seperti ditarik ribuan kuda liar hingga hampir ku lupa untuk mengatur nafas dan kedipan mata. Aku. Aku memang harus mengalaminya. Karena mungkin beginilah cara Tuhan membiarkanku belajar sebelum akhirnya kekal di kehidupan yang sudah disiapkan nanti.
Di dunia yang katanya tak sekejam neraka dan tak seindah surga ini, mereka para terpilih memberi uluran semangat yang tak ada tandingannya. Mereka lah, yang kehidupan keluarganya tidak seperti kebanyakan keluarga lainnya, yang masa mudanya tidak seperti kebanyakan individu lainnya. Mereka yang dikasihi Tuhan untuk bertarung melawan ganasnya immoralitas manusia. Mereka yang dicintai Tuhan untuk menghadapi kerasnya dan sakitnya pengkhianatan di dunia. Dan aku bangga kepada mereka yang sanggup berhadapan dengan rasa sakit itu dengan terhormat, yang mungkin buatku, itu cukup menakutkan.
Dengar, betapa kuat dan bahagia mereka nantinya. Dan tunggu, aku akan menjadi sekuat itu. Segera.